Sejarah Baju Toga, Warisan Romawi Bukan Simbol Intelektualitas


Sejarah Baju Toga, Warisan Romawi Bukan Simbol Intelektualitas
Baju toga yang jadi tradisi di perguruan tinggi tak berbasis intelektual. (Foto: iStockphoto)
Perubahan model

Gaya toga kemudian terus berubah. Pada saat abad ketiga, ini benar-benar bisa dipakai untuk semua kalangan.

Relief tertentu dan potongan tembikar dari Roma kuno tampak menggambarkan aksesori toga, seperti pemberat kecil di titik-titik strategis pada busana.

Lalu kenapa bisa sampai berwarna hitam dan dipakai di kampus? Beberapa versi sejarah mengungkap kaitannya dengan para profesor di masa lalu yang sadar fashion.

Dikutip dari situs universitas riset katolik di Balgia, KU Leuven, pemakaian toga banyak dipakai secara luas pada abad ke-15.

Itu dibuktikan dalam lukisan Last Supper atau Perjamuan Terakhir (bukan The Last Supper-nya D Vinci) karya pelukis Flemish Dirk Bouts, seorang profesor yang sadar mode. Beberapa tokoh dalam lukisan terlihat mengenakan semacam toga Romawi.

Gaun akademik itu sempat tidak disukai di kalangan siswa pada abad 16. Namun, ada saja kalangan akademik yang menjadi fashionista: Justus Lipsius, misalnya, selalu mengenakan kerah kulit macan tutul di toganya saat mengajar di Leuven.

Pada abad 17, toga pun menjadi seperti yang lazim saat ini, hitam dan panjang dengan variasi ornamen lainnya seperti topi, demi penyeragaman dan "memberikan kehangatan yang sangat dibutuhkan di auditorium tanpa pemanas di bulan-bulan musim dingin.

Penulis
: CNN Indonesia
Editor
: La Tansa

Tag: